makalah film dan komunikasi

Kamis, 26 September 2013

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dewasa ini kita telah disibukkan dengan persoalan kesetaraan gender yang digadang-gadang oleh sebuah aktifitas yang biasa disebut gerakan feminisme. Pada awalnya dikabarkan bahwa gerakan ini berkembang karena adanya rasa ketertindasan yang dirasakan oleh para perempuan yang ada di Barat. Lantas, perkembangan feminisme yang tadinya hanya ada di Barat tersebut tersebar ke seluruh dunia, utamanya melalui jalan imperialisme yang dilakukan Barat pada Dunia Timur. Gerakan ini bertujuan ingin menyamakan apa yang selama ini menjadi bias bagi kaum lelaki dan perempuan.

Istilah feminisme pertama kali dipopulerkan oleh Charles Fourier, seorang sosialis Perancis yang banyak memengaruhi perkembangan gerakan feminisme di seluruh dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, pendefinisian istilah feminisme menjadi sulit karena kaum feminis tidak ingin memberikan defenisi yang pasti dan seragam dengan berbagai alasan (Husna).


Berbicara feminisme, feminisme di Indonesia sendiri secara populer dikatakan berawal dari kisah emansipasi R.A. Kartini. Kartini mencoba memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Terutama hak-hak kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan. Kartini dianggap menjadi keterwakilan atas perempuan Jawa. Sedangkan, selain Kartini, negeri kita banyak melahirkan tokoh-tokoh emansipasi, di antaranya seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia dari Aceh, Martha Christina Tiahahu dari Maluku, dan sebagainya.

Feminisme sebenanya menuai berbagai pandangan dan anggapan, bahkan kontroversi pun tak luput menyelubungi paham tersebut. Beberapa masyarakat merasa bahwa gerakan ini telah merevitalisasi eksistensi perempuan yang selama ini ditindas budaya patriarki. Namun, sebagian yang lainnya menyatakan bahwa gerakan semacam ini tidak perlu dibesar-besarkan, bahkan justru memberikan banyak dampak gegar sosial serta disfungsi nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat.

Secara popular feminisme dalam beberapa literatur dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu feminis liberal, feminis radikal, dan feminis sosial. Teori feminis liberal meyakini bahwa masyarakat telah melanggar nilai tentang hak-hak kesetaraan terhadap wanita, terutama dengan cara mendefinisikan wanita sebagai sebuah kelompok ketimbang individu-individu. Mazhab ini mengusulkan agar wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki (Soeharto).

Feminis radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950an dan 1960an; serta gerakan-gerakan wanita yang semarak pada tahun 1960an dan 1970an (Saulnier dalam Soeharto). Feminis radikal muncul akibat dominasi sosial oleh kaum lelaki atau seksisme yang ada di Barat. Jenis ini beranggapan bahwa perempuan terbelenggu dan terkungkung dalam jerat konstruksi budaya patriarki. Sementara, feminis sosial adalah aliran yang menyatakan bahwa ketertindasan perempuan muncul akibat kapitalisme dan juga budaya patriarki.

Selanjutnya, media massa merupakan salah satu instrumen utama yang membentuk konstruksi jender pada masyarakat. Laki-laki dan perempuan telah direpresentasikan oleh media sesuai dengan stereotip-stereotip kultural untuk mereproduksi peranan-peranan jenis kelamin secara tradisional. Film sebagai salah satu produk dari media massa juga berperan besar dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai konstruksi jender (Dianingtyas: 2010).

Menurut Zoonen dan Stevees, feminis sosialis memandang media sebagai instrumen utama dalam menyampaikan stereotip, patriarkal dan nilai-nilai hegemoni mengenai perempuan dan femininitas (Dianingtyas: 2010).

Sedangkan, salah satu bentuk dari media massa tersebut ialah sinema atau selanjutnya akan kami sebut sebagai film. Dalam film kita dapat menemukan berbagai tanda yang mampu merepresentasikan berbagai nilai yang terkandung dalam masyarakat. Begitu pula dengan gambran perempuan. Gambaran perempuan dapat pula kita jumpai dalam berbagai film yang bertemakan perempuan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kami ingin mencoba membahas “Sinema dan Perempuan(Analisis feminisme dalam Film Perempuan Berkalung Sorban dan Film Perempuan Punya Cerita).


B.     Fokus Pembahasan
Pembahasan tugas kelompok kami dengan tema “Sinema dan Perempuan” berfokus pada dua buah film, yaitu film Perempuan Bekalung Sorban dan film Perempuan Punya Cerita. Dalam masing-masing film tersebut kami ingin mencoba melihat paradima feminsme melalui pendekatan Gender Inequality Approaches dan Reflection Hypothesis.


C.    Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ingin kami angkat ialah “bagaimana representasi femenisme dalam dua film yang kami pilih sebagai keterwakilan dari perempuan dalam sinema?”.





BAB II
KONSEP TEORI


A.    Gender Inequality Approaches dalam Sinema dan Perempuan
Pendekatan ini membicarakan tentang  adanya ketidaksetaraan gender dalam produksi media.


B.     Reflection Hypothesis sebagai Pendekatan dalam Film “Perempuan Berkalung Sorban” dan Film  “Perempuan Punya Cerita”
Media hanyalah cermin. Media menghimpun kebutuhan masyarakat akan suatu informasi tertentu. Dalam teori ini sebenarnya media merupakan wajah kita sendiri. Contohnya, film tahun 1990an mengandung unsur pornografi. Hal tersebut merupakan wajah masyarakat itu sendiri. Dapat pula kita pahami dalam paragraf sebuah buku yang menjelaskan bahwa “The mass media reflect dominant societal values. In the case of television, the corporate character of the commercial variety causes program planners and station managers to design programs for appeal to the largest audiences. To attract these audiences (whose time and attention are sold to commercial sponsors), the television industry offers programs consonant with American values” (Tuchman, Daniels dan Benet: 1978, 7).






BAB III
PEMBAHASAN


A.    Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang telah mengangkat konsep sinema dan perempuan sebagai penelitian. Di antara beberapa penelitian tersebut yang menurut kelompok kami memiliki relevansi dengan materi yang kami bahas adalah seperti penelitian: “Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A. Kartini” oleh Edwina Ayu Dianingtyas, “Gambaran Perempuan dalam Film Berbagi Suami” oleh Tri Utami, “Konstruksi Realitas Kaum Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” oleh Andi Muthmainnah, dan “Representasi Feminisme dalam Film Ku Tunggu Jandamu” oleh Arga Fajar Rianto.

Dalam penelitian Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A. Kartini, perempuan digambarkan sebagai objek budaya patriarki. Perempuan Jawa hanya hidup dalam kekangan kaum lelaki, tak bebas menentukan pilihan bahkan dalam urusan minat hatinya sendiri pada lelaki yang boleh mengisi relung hatinya. Konsep perjodohan, pingitan, dan poligami begitu erat membumbui kehidupan perempuan Jawa. Selain itu, ketimpangan gender juga diperlihatkan dengan sistem pembagian kerja bahwa perempuan semestinya senantiasa berada di sumur, kasur, dapur, bukan ruang publik. Dan pendidikan jadi hak mutlak untuk lelaki bukan perempuan, sebab pendidikan ialah hal terlarang untuk dienyam oleh perempuan. Atau dengan kata lain, kebutuhan akan pemenuhan intelektual hanyalah hak kaum lelaki. Sementara, perempuan cukup menggelorakan kasih sayang dan kelembutan hatinya dalam hidup.

Akan tetapi karakter Kartini yang tidak menyerah memperlihatkan bagaimana dia berjuang di tengah lingkungan yang tidak mendukung seorang perempuan untuk maju. Dalam film R.A.Kartini, sosok Kartini sebagai tokoh utama mendobrak mitos yang selama ini melekat pada diri perempuan Jawa hingga menjadikan perempuan Jawa dipandang sebelah mata. Perjuangan Kartini pada akhirnya memunculkan kekuasaannya sebagai seorang perempuan Jawa (Dianingtyas: 2010).

Sementara, dari penelitian Gambaran Perempuan dalam Film Berbagi Suami, perempuan juga digambarkan menjadi korban konstruksi budaya patriarki, tepatnya kekuasaan suami untuk menikah lagi atau sering dikenal dengan istilah poligami. Namun, dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa sesungguhnya perempuan memiliki daya untuk memilih bukan sekedar hanya mengekor kemauan kaum lelaki.

Sedangkan, dalam penelitian  Konstruksi Realitas Kaum Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita menampilkan realitas kaum perempuan melalui berbagai konflik yang dikisahkan dalam film.

Kaum perempuan adalah korban pemarjinalan dan pensubordinasian dalam sistem patriarki. Kaum perempuan mengalami ketidakadilan dengan peran gandanya dalam sektor publik dan sektor domestik. Kaum perempuan menjadi objek kekerasan dalam rumah tangga sebagai akibat dari perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga sebagaimana kultur sosial mengaturnya (Muthmainnah: 2010, 84-85).

Kaum perempuan menjadi korban diskriminasi akibat konstruksi gender yang membagi ciri dan sifat feminitas pada perempuan dan maskulinitas pada laki-laki. Pelacuran adalah bentuk penindasan kepada kaum perempuan akibat stereotip gender yang memandang perempuan sebagai objek seks. Perempuan adalah pihak yang sangat dirugikan dalam praktik poligami yang dilakukan oleh laki-laki. Kaum perempuan menanggung beban yang paling berat dalam kasus pergaulan bebas dan kehamilan di luar pernikahan. Kaum perempuan akan selalu memiliki sifat-sifat feminitas atau ciri ke-perempuan-an dalam dirinya (Muthmainnah: 2010, 84-85).

Dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Arga Fajar Rianto, Representasi Feminisme dalam Film Ku Tunggu Jandamu. Terdapat enam representasi feminisme dalam penelitian antara lain feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikalkultural, feminisme sosialis, feminisme post modern, dan feminisme eksistensialis tercemin melalui sosok Persik.

Pada feminisme liberal, Persik sebagai sosok yang punya otonomi, dan berusaha mengkonstruksi ulang peran yang bersifat gender di masyarakat. Pada feminisme marxis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis, dan berusaha membebaskan perempuan dari keperluan pertukaran (exchange), yaitu laki-laki mengontrol produksi untuk pertukaran dan sebagai konsekuensinya mereka mondiminasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property (Rianto: 2010).

Pada feminisme radikal-kultural, Persik sebagai sosok yang menolak sistem patriarkhi, yang selalu bertindak subjek, dan punya hak untuk menentukan keputusan. Pada feminisme sosialis, Persik sebagai sosok yang mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonisme seksual ketimbang status. Pada feminisme post modern, Persik sebagai sosok yang menolak perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang harus diterima dan dipelihara, gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial (Rianto: 2010)..

Pada feminisme eksistensialis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis yang selalu dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Konstruksi feminisme dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini adalah masih tergolong feminisme setengah jalan, karena pandangan feminismenya masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarki (Rianto: 2010).


B.     Gender Inequality Approaches dalam Sinema dan Perempuan
Jika dibandingkan pada masa sebelum kemerdekaan hingga Orde Baru (1926-1990) dengan masa pasca reformasi, terdapat peningkatan jumlah sutradara perempuan di Indonesia. Antara periode 1926 – 1990, hanya terdapat 4 sutradara perempuan, yakni Ratna Asmara, Citra Dewi, Ida Farida, dan Sofia WD.Kemudian, setelah reformasi hingga saat ini, jumlah sutradara perempuan setidaknya tercatat lebih dari 22 orang sutradara perempuan yang menyutradarai film layar lebar. J. B. Kristanto menuliskan dalam Katalog Film Indonesia, bahwa dari tahun 1998 - 2008 terdapat 14.28 % sutradara perempuan. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah sutradara perempuan di negara lain yang rata-rata di bawah 10% (Kurnia dalam Sitepu, 2010).

Gisela Ecker (1986) mengatakan bahwa seni pada mulanya dihasilkan oleh laki-laki. Laki-laki dengan rapi memisahkan dan mendominasi sektor publik yang mengontrolnya, dan laki-laki telah membatasi standar normatif untuk evaluasi. Dan ketika perempuan masuk ke dalam sektor ini, mereka menyetujui sistem nilai ini. Oleh karena itu, kaum feminis menyatakan perlunya pengkajian mengenai hubungan antara sinema dan feminisme. Mereka merasa perlu sinema yang melibatkan perempuan, sehingga perempuan berkesempatan menghasilkan makna (Kuhn, Laurentis dalam Triastuti dalam Sitepu, 2010).


C.    Gambaran Umum Film “Perempuan Berkalung Sorban”
Film ini merupakan film karya Hanung Bramantyo, diambil dari novel karya Abidah EL Khalieqy, penulis novel perempuan yang bagi beberapa orang dianggap kaum feminis. Berikut adalah sinopsis dari film Prempuan Berkalung Sorban.

Anissa (Revalina S Temat), seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri yang tinggal di lingkungan pesantren yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Qur’an, Hadist dan Sunnah. Perjalanan hidup Anissa membuatnya beranggapan bahwa Islam membela laki-laki sementara posisi perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Ia pun mulai menyatakan protes yang kemudian selalu dianggap rengekan anak kecil (http://filmindonesia.or.id).

Khudori (Oka Antara), paman dari pihak Ibu, selalu menemani dan menghibur Anissa. Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori yang sebenarnya juga menaruh hati pada Anissa, menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), ayah Annissa. Khudori pun melanjutkan sekolah ke Kairo. Sementara, Anissa diam-diam mendaftarkan kuliah ke Jogja dan diterima tapi Kyai Hanan tidak mengijinkan (http://filmindonesia.or.id).

Orang tua Anissa pun akhirnya nenikahkannya dengan Samsudin (Reza Rahardian), seorang anak Kyai. Sekalipun Anissa berontak tapi pernikahan tetap berlangsung. Pada kenyataan, Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Dalam perjalanan kemudian, Anissa dipertemukan kembali dengan Khudori (http://filmindonesia.or.id).

Kontroversi Film Perempuan Berkalung Sorban
Film ini ditayangkan ke layar lebar kata Hanung bertujuan untuk mengobati kekecewaan penonton terhadap film Ayat-Ayat Cinta. Sebagaimana kita ketahui bahwa tokoh utama perempuan pada film Ayat-Ayat Cinta harus menjalani hidupnya dengan dipoligami oleh suaminya. Sehingga, film tersebut terkesan tidak menaruh keberpihakan kepada kaum perempuan. Dengan demikian dilahirkanlah film Perempuan Berkalung Sorban.

Namun, alih-alih mengobati kekecewaan bagi penonton, film Perempuan Berkalung Sorban justru menuai banyak kritik dan cenderung menjadi boomerang bagi Hanung sendiri. Film tersebut begitu kental akan unsur SARA dan justru bagi kebanyakan orang dianggap tidak merepresentasikan nilai-nilai Islam yang paripurna.


D.    Analisis Feminisme dalam Film “Perempuan Berkalung Sorban” melalui Gender Inequality Approaches
Berdasarkan penjelasan di atas,  maka poin-poin di bawah ini merupakan beberapa bentuk representasi feminisme yang ada pada film Perempuan Berkalung Sorban.

1)      Budaya patriarki. Sebagaimana sebagian besar masayrakat Indonesia anut dalam berkehidupan sehari-hari. Dalam film ini juga begitu kental akan unsur budaya patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai poros peredaran kehidupan.
2)      Feminisme liberal. Film ini dapat kita kategorikan sebagai film beraliran feminism liberal. Sesuai dengan aliran feminism liberal, film ini berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa mereka tertindas. Sementara, sesungguhnya mereka memiliki kuasa untuk melawan ketertindasan tersebut dan dapat mencoba menentang diskriminasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada.
3)      Diskriminasi pendidikan. Dalam film tersebut ditayangkan bahwa Anissa mengalami kesulitan untuk dapat memenuhi hasrat intelektualnya. Anissa dilarang oleh ayahnya untuk dapat meneruskan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi. Hal tersebut disebabkan karena Anissa adalah perempuan, bukan lelaki. Kebalikannya, kakak-kakak Anissa yang dalam hal ini berjenis kelamin laki-laki, dengan mulus mendapat izin dari ayah mereka untuk bisa meneruskan sekolah ke luar dari pesantren. Padahal, Islam melalui Al Qur’an dan As Sunah, sesungguhnya mewajibkan bagi muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu, dari semenjak buaian ibunda hingga ke liang lahat. Bahkan beramal tanpa ilmu adalah hal yang sia-sia.
4)      Pernikahan. Bersambung dengan poin kedua, tidak berhenti sampai larangan sekolah. Selanjutnya, Anissa justru dijodohkan, bahkan seolah dipaksa untuk menikah dengan anak dari teman ayahnya yang juga sama-sama kiyai, yaitu Samsudin. Dalam masalah hatinya, Anissa sebenaranya telah mencintai laki-laki lain, yakni Lek Khudori. Namun, perbedaan status sosial bagi Khudori yang bukan anak kiyai, membuat jarak tali percintaan Anissa dan Khudori menjadi sulit ditautkan. Dan pilihan hati Anissa seolah jadi hak prerogratif ayahnya sebagai seorang lelaki yang memiliki komando penuh atas armada keluarganya. Bahkan ibunya sebagai perempuan yang memiliki sedikit hak biacara pun tak mampu menghalangi niat ayah Anissa. Lantas takdir dalam film tersebut menghantarkan Anissa untuk melalui kehidupan bersama dengan Samsudin terlebih dahulu, yang kemudian justru menitikan perih di hati Anissa sebab Samsudin berpoligami dengan cara yang tidak adil (tidak sesuai dengan syaria’t Islam). Dalam poin ini, direpresentasikan dalam film tersebut bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk memilih dan harus mau menerima berbagai keputusan laki-laki tanpa kompromi.
5)      Diskriminasi sosial. Dalam film, Anissa dilarang oleh ayahnya untuk menunggang kuda. Menunggang kuda hanya diperbolehkan bagi lelaki. Padahal, sebagai informasi, dalam Islam tidak ada pelarangan bagi wanita untuk menunggang kuda atau semacamnya.
6)      Kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki dianugerahi sejumlah kekuatan fisik yang lebih besar dari perempuan. Perbedaan (ketidaksetaraan) tersebut kadangkala membuat laki-laki justru begitu menyombongkan diri lantas bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan. Keadaan tersebut tergambar dalam film. Dalam film, Anissa mengalami berbagai tindak kekerasan oleh suami pertamanya, Samsudin.
7)      Perempuan mampu berperan. Anissa menunjukkan bahwa perempuan juga mampu memiliki peran yang besar, contohnya dalam film, Anissa dibantu dengan suami keduanya, Lek Khudori, membangun perpustakaan bagi pesantrennya. Pada awalnya, ide tersebut banyak menuai tentangan. Namun, determinan Anissa yang telah membulat untuk dapat menghujani adik-adik perempuannya dengan berbagai ilmu dari buku membuat ia tetap gigih memperjuangkan ide tersebut hingga berhasil.


C.    Gambaran Umum Film “Perempuan Punya Cerita”
Film ini dibagi dalam segmen-segmen: Cerita Pulau (sutradara Faitmah T. Rony dan skenario Vivin Idris), Cerita Yogyakarta (Upi dan Vivian Idris), Cerita Cibinong (Nia Dinata dan Melissa Karim) dan Cerita Jakarta (Lasja F. Sutanto dan Melissa Karim).
Oleh pembuatnya film ini disebut film antologi, karena berisikan empat cerita dan dibuat oleh empat sutradara tentang satu tema: perempuan, atau lebih khusus lagi masalah reproduksi perempuan. Keempatnya mengisahkan masalah tadi dalam konteks sosial yang berbeda, tapi semua tokoh utamanya mengalami kekalahan menghadapi "kekuasaan" yang ada di luar dirinya (http://filmindonesia.or.id).

Cerita pertama, Cerita Pulau, tentang seorang bidan, Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka), yang menderita kanker dan dituduh melakukan aborsi ilegal oleh masyarakat pulau tempatnya mengabdi. Padahal dia terpaksa melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawa ibu sang janin. Dia juga sekali lagi melakukan hal sama ketika mengetahui Wulan (Rachel Maryam), anak terbelakang yang hamil akibat perkosaan. Dia terpaksa pergi dari pulau itu atas desakan suaminya (http://filmindonesia.or.id).

Cerita kedua, Cerita Yogyakarta, tentang pergaulan seks bebas pelajar. Dialog dan tingkah laku disajikan secara terus-terang tanpa terlalu dihalus-haluskan. Dilukiskan perilaku itu antara lain dipengaruhi oleh informasi di internet, sementara pelajaran seksualitas di kelas malah dilecehkan. Seorang wartawan, Jay Anwar (Fauzi Baadilla), digambarkan "berpartisipasi" ke dalam pergaulan mereka, termasuk "melayani" Safina (Kirana Larasati), salah satu nara sumber yang mencintainya. Hasil liputannya menghebohkan kota dan sekolah bersangkutan, sementara Safina hanya bisa memakinya lewat sebuah liputan televise (http://filmindonesia.or.id).

Cerita ketiga, Cerita Cibinong, tentang Esi (Shanty), petugas kebersihan sebuah klab dangdut, yang bekerja keras untuk membiayai putrinya, Maesaroh (Ken Nala Amrytha). Ia nyaris putus asa ketika memergoki suaminya melecehkan Maesaroh. Ia pergi dan ditampung primadona klab dangdut itu, Cicih (Sarah Sechan), yang sangat berambisi jadi penyanyi tenar di Jakarta, hingga mudah tertipu seorang kenalan yang bisa melambungkan kariernya, asal Maesaroh diajak. Maesaroh dinikahkan paksa dengan seorang pria Taiwan. Esi akhirnya berhasil menemukan Cicih di Jakarta, tapi tak bisa menyelamatkan Maesaroh (http://filmindonesia.or.id).

Cerita keempat, Cerita Jakarta, tentang Laksmi (Susan Bachtiar) yang ketularan HIV-AIDS dari almarhum suaminya yang pecandu narkoba. Ia harus lari dari rumah bersama putrinya, karena keluarga suaminya yang "terhormat" menyalahkan dirinya. Karena merasa tak sanggup lagi membiayai putrinya, ia "merelakan" putrinya itu diambil keluarga besar suaminya (http://filmindonesia.or.id). Pada segmen inilah perspektif perempuan baru hadir dengan baik. Karakter utama diberi kebebasan serta pilihan; dan empati selalu terbangun pada tokoh-tokoh yang memilih. Maka pada cerita ini saya merasa bahwa saya perlu membela perempuan bernama Laksmi itu, apapun penyakit yang dideritanya (Sasono: 2008).

Sebuah Opini untuk Film Perempuan Punya Cerita
Perempuan Punya Cerita memang berani mengambil sebuah risiko besar dengan mengumumkan diri sebagai film dari perempuan tentang perempuan. Pengakuan terbuka seperti ini tampaknya belum pernah dibuat sekeras ini dalam film Indonesia pascareformasi. Film seperti Pasir Berbisik atau Eliana-eliana membawa tema itu tanpa menyatakan bahwa film-film itu adalah film tentang perempuan (Sasono: 2008).

Hasil keberanian itu adalah gambaran para perempuan malang dan tersudut. Kita mengerti betul bahwa kenyataan memang lebih hebat lagi dalam menyudutkan perempuan. Hanya, bukankah film dengan kepentingan bicara tentang perempuan lazimnya justru hendak mengeluarkan mereka dari sana atau mengajak penonton bersimpati dan kemudian berpikiran untuk membawa mereka keluar dari sana? Ketika pernyataan tentang perempuan lebih penting ketimbang membawa perempuan keluar dari posisinya yang tersudut, maka inilah jebakan para ideolog dan aktivis yang mendahulukan egotisme mereka ketimbang persoalan yang mereka bawa (Sasono: 2008).

Untunglah bahwa film ini disusun dengan urut-urutan seperti ini. Dengan Cerita Jakarta, sebagai penutup, penonton masih bisa merasa simpati terhadap perempuan di akhir film. Maka jika Perempuan Punya Cerita dilihat sebagai satu film utuh, mungkin Lasja Fauzia has saved the day. Tapi ketika film ini memang berniat sebagai film ‘dari perempuan tentang perempuan’ maka sesungguhnya risiko yang sedang ditempuh fim ini memang terlalu besar (Sasono: 2008).

E.     Analisis Feminisme dalam Film “Perempuan Punya Cerita”
Berdasarkan penjelasan di atas,  maka poin-poin di bawah ini merupakan beberapa bentuk representasi feminisme yang ada pada film Perempuan Punya Cerita.

1)      Budaya patriarki. Sebagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia anut dalam berkehidupan sehari-hari. Dalam film ini juga begitu kental akan unsur budaya patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai poros peredaran kehidupan. Sumantri yang jadi politisasi pemerkosa Wulan, sehingga ia dibenci warga pulau di Cerita Pulau. Dan Safina yang sekedar menjadi “pelayan” bagi laki-laki di Cerita Yogyakarta.
2)      Feminisme liberal dan sosial. Film ini dapat kita kategorikan sebagai film beraliran feminisme liberal sebab representasinya akan ketertindasan perempuan yang wajib diperjuangkan. Dan juga beraliran feminisme sosial sebab representasinya akan kemiskinan yang menjadi beban perempuan sebab kapitalisme.
3)      Perempuan mahluk yang lemah. Dalam film salah satunya pada segmen satu, perempuan digambarkan menjadi mahluk yang tidak banyak berdaya akan otoritas laki-laki. Sumantri yang mengabdi di pulau terpencil dan berjuang dengan gigih untuk keadilan Wulan, justru diceritakan menjadi korban politisasi para lelaki pemerkosa Wulan. Ia tak berdaya akan pemutarbalikan fakta yang menyebabkan ia dianggap mengaborsi janin dengan niatan buruk, padahal sesungguhnya ia berkeinginan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.
4)      Perempuan bukan mahluk rasional. Beberapa orang beranggapan bahwa perempuan memiliki akal yang pendek yang justru hanya mementingkan masalah hati dan perasaannya ketimbang berpikir rasional dalam menimbang berbagai hal. Bahkan, perempuan adalah mahluk yang mudah sekali dimonopoli atau ditipu sebab tadi bahwa mereka tak berpikir rasional. Hal ini tergambar dalam segmen dua dari film.
5)      Perempuan rawan human trafficking. Pada segmen ketiga, menggabungkan dua poin di atas, selain lemah, karakter perempuan yang mudah ditipu akhirnya menyebabkan perempuan rawan betul menjadi objek human trafficking.
6)      Wajah kemiskinan wajah perempuan. Berbicara masalah kemiskinan, banyak anggapan yang mengasosiasikan perempuan ke dalamnya. Dan sejalan dengan anggapan tersebut pada gilirannya berimplikasi pada berbagai ketertindasan yang dialami perempuan.
7)      Diskriminasi sosial. Sebagaimana terjadi pada Esi dalam film, perempuan dirasa menjadi manusia yang jauh dari akses pendidikan dan pemahaman serta kesadaran akan hak yang asasi bagi dirinya. Dan seringkali perempuan sekedar menjadi kambing hitam dalam masyarakat, seperti Laksmi yang menjadi kambing hitam bagi suaminya lantas tertular  HIV/AIDS yang tidak lain dan tidak bukan justru ditularkan suaminya sendiri akibat pergaulan bebas suaminya.




BAB IV
KESIMPULAN


A.    Kesimpulan
Bentukan budaya yang hidup dalam negeri ini kebanyakan adalah budaya yang mengekor pada kepemimpinan laki-laki. Sedikit dari budaya kita yang mengambil garis matrilineal sebagai acuan berbudaya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara, jika kita berbicara mengenai sinema dan perempuan, maka kami mendapati bahwa perempuan dalam sinema tak jauh bedanya dengan keadaan budaya masyarakat yang ada. Perempuan dalam sinema senantiasa dibenturkan dengan budaya yang dikonstruksi sendiri oleh masayarakat, atau bukan bersifat alamiah. Secara nurtur tersebut, berbagai sinema menempatkan perempuan minimal sebagai bagian subordinat kaum lelaki. Dengan kata lain, perempuan dalam sinema senantiasa dibenturkan pada budaya patriarki.

Budaya patriarki dalam sinema terhadap perempuan biasanya berbentuk seperti: kekuasaan yang lebih besar porsinya bagi kaum lelaki kepada perempuan, poligami, subordinasi, kekerasan, keterbungkaman, tak boleh menempuh pendidikan yang setara dengan kaum lelaki, dan sebagainya.

Namun demikian, tidak semua pesan yang digambarkan dalam film merupakan realita yang paripurna bagi perempuan. Ada nilai-nilai dan gambaran lain yang tentunya tak butuh diemansipasi sebab ia telah menjadi bentukan alam atau natural bukan nurtur. Sayangnya, kaum feminis seringkali lekang dari norma dan nilai serta aturan yang ada dalam memerhatikan kaum perempuan. Tidaklah segala hal dalam dunia ini patut untuk direkonstruksi apalagi jika ia adalah bentukan alami dari Tuhan dan diatur oleh Nya.



DAFTAR PUSTAKA


Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tuchman, Gaye, Daniels, Arlene Kaplan, dan Benet, James. 1978. Images of Women in the Mass Media. New York: Oxford University Press.


Penelitian:
Dianingtyas,  Edwina Ayu. 2010. Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A. Kartini. Semarang: Universitas Diponegoro (Skirpsi).

Muthmainnah, Andi. 2012. Konstruksi Realitas Kaum Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Makassar: Universitas Hasanuddin (Skripsi).

Rianto, Arga Fajar. 2010. Representasi Feminisme dalam Film Ku Tunggu Jandamu Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (Skripsi).

Sitepu, Yovita Sabarina. 2010. Eksplorasi Sintaksis Baru Tentang Tubuh Perempuandalam Film Perempuan Punya Cerita-Chants Of Lotus (2007) (Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Feminis). Medan: Universias Sumatra Utara (Tesis).

Utami, Tri. 2012. Gambaran Perempuan dalam Film Berbagi Suami. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Skripsi).


Jurnal:
Lubis, Syakwan. 2006. Gerakan Feminisme dalam Era Postmodernisme Abad 21. DEMOKRASI Vol. V No. 1 Th. 2006


Internet:
Husna, Fuaziatul. Tanpa tahun. Analisis Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia dalam  Kacamata Teori Habitus Pierre Bourdieu. http://www.academia.edu/3616511/Analisis_Sejarah_Perkembangan_Feminisme_di_Indonesia_dalam_Kacamata_Teori_Habitus_Pierre_Bourdieu. Diakses pada 19 September 2013.

Sasono, Eric. 2008. Perempuan Punya Cerita: Para Perempuan Malang. http://old.rumahfilm.org/resensi/resensi_perempuan.htm. Diakses pada 19 September 2013.

Soeharto, Edi. Tanpa tahun. Teori Feminis dan Pekerjaan Sosial. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/YogyaFEMINISMESocialWork.pdf. Diakses pada 19 September 2013.

Tanpa nama. 2008. Perempuan Punya Cerita. http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-c013-07-986177_perempuan-punya-cerita#.UjppxSwYrMs. Diakses pada 19 September 2013.


Tanpa nama. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p024-09-123305_perempuan-berkalung-sorban#.Ujpq_ywYrMs. Diakses pada 19 September 2013.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 GO-ES EPEDA All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com Download This Template From Coolbthemes.com..