BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dewasa ini kita telah disibukkan dengan
persoalan kesetaraan gender yang digadang-gadang oleh sebuah aktifitas yang
biasa disebut gerakan feminisme. Pada
awalnya dikabarkan bahwa gerakan ini berkembang karena adanya rasa
ketertindasan yang dirasakan oleh para perempuan yang ada di Barat. Lantas,
perkembangan feminisme yang tadinya hanya ada di Barat tersebut tersebar ke
seluruh dunia, utamanya melalui jalan imperialisme yang dilakukan Barat pada
Dunia Timur. Gerakan ini bertujuan ingin menyamakan apa yang selama ini menjadi
bias bagi kaum lelaki dan perempuan.
Istilah
feminisme pertama kali dipopulerkan oleh Charles Fourier, seorang sosialis
Perancis yang banyak memengaruhi perkembangan gerakan feminisme di seluruh
dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, pendefinisian istilah feminisme menjadi
sulit karena kaum feminis tidak ingin memberikan defenisi yang pasti dan
seragam dengan berbagai alasan
(Husna).
Berbicara
feminisme, feminisme di Indonesia sendiri secara populer dikatakan berawal dari
kisah emansipasi R.A. Kartini. Kartini mencoba memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan. Terutama hak-hak kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan. Kartini
dianggap menjadi keterwakilan atas perempuan Jawa. Sedangkan, selain Kartini,
negeri kita banyak melahirkan tokoh-tokoh emansipasi, di antaranya seperti Cut
Nyak Dhien dan Cut Meutia dari Aceh, Martha Christina Tiahahu dari Maluku, dan
sebagainya.
Feminisme sebenanya menuai berbagai
pandangan dan anggapan, bahkan kontroversi pun tak luput menyelubungi paham
tersebut. Beberapa masyarakat merasa bahwa gerakan ini telah merevitalisasi
eksistensi perempuan yang selama ini ditindas budaya patriarki. Namun, sebagian
yang lainnya menyatakan bahwa gerakan semacam ini tidak perlu dibesar-besarkan,
bahkan justru memberikan banyak dampak gegar sosial serta disfungsi nilai dan
norma yang berlaku pada masyarakat.
Secara popular feminisme dalam beberapa literatur
dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu feminis liberal, feminis radikal,
dan feminis sosial. Teori feminis liberal meyakini bahwa masyarakat telah
melanggar nilai tentang hak-hak kesetaraan terhadap wanita, terutama dengan
cara mendefinisikan wanita sebagai sebuah kelompok ketimbang individu-individu.
Mazhab ini mengusulkan agar wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki
(Soeharto).
Feminis
radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan
gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950an dan 1960an; serta
gerakan-gerakan wanita yang semarak pada tahun 1960an dan 1970an (Saulnier
dalam Soeharto). Feminis radikal muncul akibat dominasi sosial oleh kaum lelaki
atau seksisme yang ada di Barat. Jenis ini beranggapan bahwa perempuan
terbelenggu dan terkungkung dalam jerat konstruksi budaya patriarki. Sementara,
feminis sosial adalah aliran yang menyatakan bahwa ketertindasan perempuan
muncul akibat kapitalisme dan juga budaya patriarki.
Selanjutnya,
media massa merupakan salah satu instrumen utama yang membentuk konstruksi
jender pada masyarakat. Laki-laki dan perempuan telah direpresentasikan oleh media
sesuai dengan stereotip-stereotip kultural untuk mereproduksi peranan-peranan
jenis kelamin secara tradisional. Film sebagai salah satu produk dari media
massa juga berperan besar dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai
konstruksi jender (Dianingtyas: 2010).
Menurut
Zoonen dan Stevees, feminis sosialis memandang media sebagai instrumen utama
dalam menyampaikan stereotip, patriarkal dan nilai-nilai hegemoni mengenai
perempuan dan femininitas (Dianingtyas: 2010).
Sedangkan,
salah satu bentuk dari media massa tersebut ialah sinema atau selanjutnya akan
kami sebut sebagai film. Dalam film kita dapat menemukan berbagai tanda yang
mampu merepresentasikan berbagai nilai yang terkandung dalam masyarakat. Begitu
pula dengan gambran perempuan. Gambaran perempuan dapat pula kita jumpai dalam
berbagai film yang bertemakan perempuan.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka kami ingin mencoba membahas “Sinema dan Perempuan” (Analisis feminisme dalam Film Perempuan Berkalung Sorban dan Film Perempuan
Punya Cerita).
B. Fokus
Pembahasan
Pembahasan tugas kelompok kami dengan
tema “Sinema dan Perempuan” berfokus pada dua
buah film, yaitu film Perempuan Bekalung
Sorban dan film Perempuan Punya
Cerita. Dalam masing-masing film tersebut kami ingin mencoba melihat
paradima feminsme melalui pendekatan Gender
Inequality Approaches dan Reflection
Hypothesis.
C. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang ingin kami angkat
ialah “bagaimana representasi femenisme dalam dua film yang kami pilih sebagai keterwakilan
dari perempuan dalam sinema?”.
BAB II
KONSEP TEORI
A. Gender Inequality Approaches dalam
Sinema dan Perempuan
Pendekatan ini
membicarakan tentang adanya
ketidaksetaraan gender dalam produksi media.
B. Reflection Hypothesis sebagai
Pendekatan dalam Film “Perempuan
Berkalung Sorban” dan Film “Perempuan Punya Cerita”
Media hanyalah cermin. Media menghimpun
kebutuhan masyarakat akan suatu informasi tertentu. Dalam teori ini sebenarnya
media merupakan wajah kita sendiri. Contohnya, film tahun 1990an mengandung
unsur pornografi. Hal tersebut merupakan wajah masyarakat itu sendiri. Dapat
pula kita pahami dalam paragraf sebuah buku yang menjelaskan bahwa “The mass media reflect dominant societal values.
In the case of television, the corporate character of the commercial variety
causes program planners and station managers to design programs for appeal to
the largest audiences. To attract these audiences (whose time and attention are
sold to commercial sponsors), the television industry offers programs consonant
with American values” (Tuchman, Daniels
dan Benet: 1978, 7).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penelitian
Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang telah
mengangkat konsep sinema dan perempuan sebagai penelitian. Di antara beberapa
penelitian tersebut yang menurut kelompok kami memiliki relevansi dengan materi
yang kami bahas adalah seperti penelitian: “Representasi
Perempuan Jawa dalam Film R.A. Kartini” oleh Edwina Ayu Dianingtyas, “Gambaran Perempuan dalam Film Berbagi Suami”
oleh Tri Utami, “Konstruksi Realitas
Kaum Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” oleh Andi Muthmainnah,
dan “Representasi Feminisme dalam Film Ku
Tunggu Jandamu” oleh Arga Fajar Rianto.
Dalam penelitian Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A. Kartini, perempuan
digambarkan sebagai objek budaya patriarki. Perempuan Jawa hanya hidup dalam
kekangan kaum lelaki, tak bebas menentukan pilihan bahkan dalam urusan minat
hatinya sendiri pada lelaki yang boleh mengisi relung hatinya. Konsep
perjodohan, pingitan, dan poligami begitu erat membumbui kehidupan perempuan
Jawa. Selain itu, ketimpangan gender juga diperlihatkan dengan sistem pembagian kerja bahwa perempuan semestinya
senantiasa berada di sumur, kasur, dapur, bukan ruang publik. Dan pendidikan jadi hak mutlak untuk lelaki bukan
perempuan, sebab pendidikan ialah hal terlarang untuk dienyam oleh perempuan.
Atau dengan kata lain, kebutuhan akan pemenuhan intelektual hanyalah hak kaum
lelaki. Sementara, perempuan cukup menggelorakan kasih sayang dan kelembutan hatinya dalam hidup.
Akan tetapi karakter Kartini yang tidak
menyerah memperlihatkan bagaimana dia berjuang di tengah lingkungan yang tidak
mendukung seorang perempuan untuk maju. Dalam film R.A.Kartini, sosok
Kartini sebagai tokoh utama mendobrak mitos yang selama ini melekat pada diri
perempuan Jawa hingga menjadikan perempuan Jawa dipandang sebelah mata.
Perjuangan Kartini pada akhirnya memunculkan kekuasaannya sebagai seorang
perempuan Jawa (Dianingtyas: 2010).
Sementara, dari penelitian Gambaran Perempuan dalam Film Berbagi Suami,
perempuan juga digambarkan menjadi korban konstruksi budaya patriarki, tepatnya kekuasaan suami untuk menikah lagi atau
sering dikenal dengan istilah poligami. Namun, dalam penelitian tersebut juga
dijelaskan bahwa sesungguhnya perempuan memiliki daya untuk memilih bukan
sekedar hanya mengekor kemauan kaum lelaki.
Sedangkan, dalam penelitian Konstruksi
Realitas Kaum Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita menampilkan
realitas kaum perempuan melalui berbagai konflik yang dikisahkan dalam film.
Kaum perempuan adalah korban
pemarjinalan dan pensubordinasian dalam sistem patriarki. Kaum perempuan
mengalami ketidakadilan dengan peran gandanya dalam sektor publik dan sektor
domestik. Kaum perempuan menjadi objek kekerasan dalam rumah tangga sebagai
akibat dari perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga
sebagaimana kultur sosial mengaturnya (Muthmainnah: 2010, 84-85).
Kaum perempuan menjadi korban
diskriminasi akibat konstruksi gender yang membagi ciri dan sifat feminitas
pada perempuan dan maskulinitas pada laki-laki. Pelacuran adalah bentuk
penindasan kepada kaum perempuan akibat stereotip gender yang memandang
perempuan sebagai objek seks. Perempuan adalah pihak yang sangat dirugikan
dalam praktik poligami yang dilakukan oleh laki-laki. Kaum perempuan menanggung
beban yang paling berat dalam kasus pergaulan bebas dan kehamilan di luar
pernikahan. Kaum perempuan akan selalu memiliki sifat-sifat feminitas atau ciri
ke-perempuan-an dalam dirinya (Muthmainnah: 2010, 84-85).
Dan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Arga Fajar Rianto, Representasi Feminisme
dalam Film Ku Tunggu Jandamu. Terdapat enam representasi feminisme dalam
penelitian antara lain feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme
radikalkultural, feminisme sosialis, feminisme post modern, dan feminisme
eksistensialis tercemin melalui sosok Persik.
Pada feminisme liberal, Persik sebagai
sosok yang punya otonomi, dan berusaha mengkonstruksi ulang peran yang bersifat
gender di masyarakat. Pada feminisme marxis, Persik sebagai sosok yang menolak
bahwa penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis,
dan berusaha membebaskan perempuan dari keperluan pertukaran (exchange),
yaitu laki-laki mengontrol produksi untuk pertukaran dan sebagai konsekuensinya
mereka mondiminasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi
bagian dari property (Rianto: 2010).
Pada feminisme radikal-kultural, Persik
sebagai sosok yang menolak sistem patriarkhi, yang selalu bertindak subjek, dan
punya hak untuk menentukan keputusan. Pada feminisme sosialis, Persik sebagai
sosok yang mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan
dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonisme seksual ketimbang status.
Pada feminisme post modern, Persik sebagai sosok yang menolak perbedaan antara
laki-laki dan perempuan yang harus diterima dan dipelihara, gender tidak
bermakna identitas atau struktur sosial (Rianto: 2010)..
Pada feminisme eksistensialis, Persik
sebagai sosok yang menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap,
dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi
biologis yang selalu dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk
bereksistensi sendiri. Konstruksi feminisme dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini
adalah masih tergolong feminisme setengah jalan, karena pandangan feminismenya
masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarki (Rianto:
2010).
B. Gender Inequality Approaches dalam
Sinema dan Perempuan
Jika
dibandingkan pada masa sebelum kemerdekaan hingga Orde Baru (1926-1990) dengan
masa pasca reformasi, terdapat peningkatan jumlah sutradara perempuan di Indonesia.
Antara periode 1926 – 1990, hanya terdapat 4 sutradara perempuan, yakni Ratna
Asmara, Citra Dewi, Ida Farida, dan Sofia WD.Kemudian, setelah reformasi hingga
saat ini, jumlah sutradara perempuan setidaknya tercatat lebih dari 22 orang
sutradara perempuan yang menyutradarai film layar lebar. J. B. Kristanto
menuliskan dalam Katalog Film Indonesia, bahwa dari tahun 1998 - 2008 terdapat
14.28 % sutradara perempuan. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah
sutradara perempuan di negara lain yang rata-rata di bawah 10% (Kurnia dalam
Sitepu, 2010).
Gisela
Ecker (1986) mengatakan bahwa seni pada mulanya dihasilkan oleh laki-laki.
Laki-laki dengan rapi memisahkan dan mendominasi sektor publik yang mengontrolnya,
dan laki-laki telah membatasi standar normatif untuk evaluasi. Dan ketika
perempuan masuk ke dalam sektor ini, mereka menyetujui sistem nilai ini. Oleh
karena itu, kaum feminis menyatakan perlunya pengkajian mengenai hubungan
antara sinema dan feminisme. Mereka merasa perlu sinema yang melibatkan
perempuan, sehingga perempuan berkesempatan menghasilkan makna (Kuhn, Laurentis
dalam Triastuti dalam Sitepu, 2010).
C. Gambaran
Umum Film “Perempuan Berkalung Sorban”
Film
ini merupakan film karya Hanung Bramantyo, diambil dari novel karya Abidah EL
Khalieqy, penulis novel perempuan yang bagi beberapa orang dianggap kaum
feminis. Berikut adalah sinopsis dari film Prempuan
Berkalung Sorban.
Anissa (Revalina S Temat), seorang anak
kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri yang tinggal di lingkungan
pesantren yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Qur’an,
Hadist dan Sunnah. Perjalanan hidup Anissa membuatnya beranggapan bahwa Islam
membela laki-laki sementara posisi perempuan sangat lemah dan tidak seimbang.
Ia pun mulai menyatakan protes yang kemudian selalu dianggap rengekan anak
kecil (http://filmindonesia.or.id).
Khudori (Oka Antara), paman dari pihak
Ibu, selalu menemani dan menghibur Anissa. Diam-diam Anissa menaruh hati kepada
Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori yang sebenarnya juga
menaruh hati pada Anissa, menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga
Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), ayah Annissa. Khudori pun melanjutkan sekolah ke
Kairo. Sementara, Anissa diam-diam mendaftarkan kuliah ke Jogja dan diterima
tapi Kyai Hanan tidak mengijinkan (http://filmindonesia.or.id).
Orang tua Anissa pun akhirnya
nenikahkannya dengan Samsudin (Reza Rahardian), seorang anak Kyai. Sekalipun
Anissa berontak tapi pernikahan tetap berlangsung. Pada kenyataan, Samsudin
menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Dalam perjalanan kemudian,
Anissa dipertemukan kembali dengan Khudori (http://filmindonesia.or.id).
Kontroversi Film Perempuan Berkalung Sorban
Film
ini ditayangkan ke layar lebar kata Hanung bertujuan untuk mengobati kekecewaan
penonton terhadap film Ayat-Ayat Cinta. Sebagaimana
kita ketahui bahwa tokoh utama perempuan pada film Ayat-Ayat Cinta harus menjalani hidupnya dengan dipoligami oleh
suaminya. Sehingga, film tersebut terkesan tidak menaruh keberpihakan kepada
kaum perempuan. Dengan demikian dilahirkanlah film Perempuan Berkalung Sorban.
Namun,
alih-alih mengobati kekecewaan bagi penonton, film Perempuan Berkalung Sorban justru menuai banyak kritik dan
cenderung menjadi boomerang bagi
Hanung sendiri. Film tersebut begitu kental akan unsur SARA dan justru bagi
kebanyakan orang dianggap tidak merepresentasikan nilai-nilai Islam yang
paripurna.
D. Analisis
Feminisme dalam Film “Perempuan Berkalung Sorban” melalui Gender Inequality Approaches
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka poin-poin di bawah ini merupakan
beberapa bentuk representasi feminisme yang ada pada film Perempuan Berkalung Sorban.
1) Budaya patriarki. Sebagaimana
sebagian besar masayrakat Indonesia anut dalam berkehidupan sehari-hari. Dalam
film ini juga begitu kental akan unsur budaya patriarki yang menjadikan
laki-laki sebagai poros peredaran kehidupan.
2) Feminisme liberal. Film
ini dapat kita kategorikan sebagai film beraliran feminism liberal. Sesuai
dengan aliran feminism liberal, film ini berusaha untuk menyadarkan wanita
bahwa mereka tertindas. Sementara, sesungguhnya mereka memiliki kuasa untuk
melawan ketertindasan tersebut dan dapat mencoba menentang diskriminasi
ekonomi, politik, dan sosial yang ada.
3)
Diskriminasi pendidikan. Dalam film tersebut ditayangkan
bahwa Anissa mengalami kesulitan untuk dapat memenuhi hasrat intelektualnya.
Anissa dilarang oleh ayahnya untuk dapat meneruskan jenjang pendidikannya ke
perguruan tinggi. Hal tersebut disebabkan karena Anissa
adalah perempuan, bukan lelaki. Kebalikannya, kakak-kakak Anissa yang dalam hal
ini berjenis kelamin laki-laki, dengan mulus mendapat izin dari ayah mereka
untuk bisa meneruskan sekolah ke luar dari pesantren. Padahal, Islam melalui Al
Qur’an dan As Sunah, sesungguhnya mewajibkan bagi muslim laki-laki dan
perempuan untuk menuntut ilmu, dari semenjak buaian ibunda hingga ke liang
lahat. Bahkan beramal tanpa ilmu adalah hal yang sia-sia.
4)
Pernikahan. Bersambung dengan poin kedua, tidak berhenti sampai
larangan sekolah. Selanjutnya, Anissa justru dijodohkan, bahkan seolah dipaksa
untuk menikah dengan anak dari teman ayahnya yang juga sama-sama kiyai, yaitu
Samsudin. Dalam masalah hatinya, Anissa sebenaranya telah mencintai laki-laki
lain, yakni Lek Khudori. Namun, perbedaan status sosial bagi Khudori yang bukan
anak kiyai, membuat jarak tali percintaan Anissa dan Khudori menjadi sulit
ditautkan. Dan pilihan hati Anissa seolah jadi hak prerogratif ayahnya sebagai
seorang lelaki yang memiliki komando penuh atas armada keluarganya. Bahkan
ibunya sebagai perempuan yang memiliki sedikit hak biacara pun tak mampu
menghalangi niat ayah Anissa. Lantas takdir dalam film tersebut menghantarkan
Anissa untuk melalui kehidupan bersama dengan Samsudin terlebih dahulu, yang
kemudian justru menitikan perih di hati Anissa sebab Samsudin berpoligami
dengan cara yang tidak adil (tidak sesuai dengan syaria’t Islam). Dalam poin
ini, direpresentasikan dalam film tersebut bahwa perempuan tidak memiliki hak
untuk memilih dan harus mau menerima berbagai keputusan laki-laki tanpa
kompromi.
5)
Diskriminasi sosial. Dalam film, Anissa dilarang oleh
ayahnya untuk menunggang kuda. Menunggang kuda hanya diperbolehkan bagi lelaki.
Padahal,
sebagai informasi, dalam Islam tidak ada pelarangan bagi wanita untuk
menunggang kuda atau semacamnya.
6)
Kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki dianugerahi sejumlah kekuatan
fisik yang lebih besar dari perempuan. Perbedaan (ketidaksetaraan) tersebut
kadangkala membuat laki-laki justru begitu menyombongkan diri lantas bertindak
sewenang-wenang terhadap perempuan. Keadaan tersebut tergambar dalam film.
Dalam film, Anissa mengalami berbagai tindak kekerasan oleh suami pertamanya,
Samsudin.
7)
Perempuan mampu berperan. Anissa menunjukkan bahwa perempuan juga
mampu memiliki peran yang besar, contohnya dalam film, Anissa dibantu dengan
suami keduanya, Lek Khudori, membangun perpustakaan bagi pesantrennya. Pada
awalnya, ide tersebut banyak menuai tentangan. Namun, determinan Anissa yang
telah membulat untuk dapat menghujani adik-adik perempuannya dengan berbagai
ilmu dari buku membuat ia tetap gigih memperjuangkan ide tersebut hingga
berhasil.
C. Gambaran
Umum Film “Perempuan Punya Cerita”
Film ini dibagi dalam segmen-segmen: Cerita Pulau (sutradara Faitmah T. Rony dan
skenario Vivin Idris), Cerita
Yogyakarta (Upi dan Vivian
Idris), Cerita Cibinong (Nia
Dinata dan Melissa Karim) dan Cerita
Jakarta (Lasja F. Sutanto
dan Melissa Karim).
Oleh
pembuatnya film ini disebut film antologi, karena berisikan empat cerita dan
dibuat oleh empat sutradara tentang satu tema: perempuan, atau lebih khusus
lagi masalah reproduksi perempuan. Keempatnya mengisahkan masalah tadi dalam
konteks sosial yang berbeda, tapi semua tokoh utamanya mengalami kekalahan
menghadapi "kekuasaan" yang ada di luar dirinya (http://filmindonesia.or.id).
Cerita
pertama, Cerita Pulau, tentang seorang bidan, Sumantri
(Rieke
Dyah Pitaloka), yang menderita
kanker dan dituduh melakukan aborsi ilegal oleh masyarakat pulau tempatnya
mengabdi. Padahal dia terpaksa melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawa ibu
sang janin. Dia juga sekali lagi melakukan hal sama ketika mengetahui Wulan (Rachel Maryam),
anak terbelakang yang hamil akibat perkosaan. Dia terpaksa pergi dari pulau itu
atas desakan suaminya (http://filmindonesia.or.id).
Cerita
kedua, Cerita Yogyakarta, tentang pergaulan seks
bebas pelajar. Dialog dan tingkah laku disajikan secara terus-terang tanpa
terlalu dihalus-haluskan. Dilukiskan perilaku itu antara lain dipengaruhi oleh
informasi di internet, sementara pelajaran seksualitas di kelas malah
dilecehkan. Seorang wartawan, Jay Anwar (Fauzi Baadilla),
digambarkan "berpartisipasi" ke dalam pergaulan mereka, termasuk
"melayani" Safina (Kirana
Larasati), salah satu nara sumber yang
mencintainya. Hasil liputannya menghebohkan kota dan sekolah bersangkutan,
sementara Safina hanya bisa memakinya lewat sebuah liputan televise (http://filmindonesia.or.id).
Cerita
ketiga, Cerita Cibinong, tentang Esi (Shanty),
petugas kebersihan sebuah klab dangdut, yang bekerja keras untuk membiayai
putrinya, Maesaroh (Ken Nala
Amrytha). Ia nyaris putus asa ketika
memergoki suaminya melecehkan Maesaroh. Ia pergi dan ditampung primadona klab
dangdut itu, Cicih (Sarah Sechan),
yang sangat berambisi jadi penyanyi tenar di Jakarta, hingga mudah tertipu
seorang kenalan yang bisa melambungkan kariernya, asal Maesaroh diajak.
Maesaroh dinikahkan paksa dengan seorang pria Taiwan. Esi akhirnya berhasil
menemukan Cicih di Jakarta, tapi tak bisa menyelamatkan Maesaroh (http://filmindonesia.or.id).
Cerita
keempat, Cerita Jakarta, tentang Laksmi (Susan Bachtiar)
yang ketularan HIV-AIDS dari almarhum suaminya yang pecandu narkoba. Ia harus
lari dari rumah bersama putrinya, karena keluarga suaminya yang
"terhormat" menyalahkan dirinya. Karena merasa tak sanggup lagi
membiayai putrinya, ia "merelakan" putrinya itu diambil keluarga
besar suaminya (http://filmindonesia.or.id).
Pada segmen inilah perspektif
perempuan baru hadir dengan baik. Karakter utama diberi kebebasan serta
pilihan; dan empati selalu terbangun pada tokoh-tokoh yang memilih. Maka pada
cerita ini saya merasa bahwa saya perlu membela perempuan bernama Laksmi itu,
apapun penyakit yang dideritanya (Sasono: 2008).
Sebuah
Opini untuk Film Perempuan Punya Cerita
Perempuan
Punya Cerita memang
berani mengambil sebuah risiko besar dengan mengumumkan diri sebagai film dari
perempuan tentang perempuan. Pengakuan terbuka seperti ini tampaknya belum
pernah dibuat sekeras ini dalam film Indonesia pascareformasi. Film seperti Pasir Berbisik atau Eliana-eliana membawa tema itu tanpa menyatakan
bahwa film-film itu adalah film tentang perempuan (Sasono:
2008).
Hasil
keberanian itu adalah gambaran para perempuan malang dan tersudut. Kita
mengerti betul bahwa kenyataan memang lebih hebat lagi dalam menyudutkan
perempuan. Hanya, bukankah film dengan kepentingan bicara tentang perempuan
lazimnya justru hendak mengeluarkan mereka dari sana atau mengajak penonton
bersimpati dan kemudian berpikiran untuk membawa mereka keluar dari sana?
Ketika pernyataan tentang perempuan lebih penting ketimbang membawa perempuan
keluar dari posisinya yang tersudut, maka inilah jebakan para ideolog dan
aktivis yang mendahulukan egotisme mereka ketimbang persoalan yang mereka bawa (Sasono: 2008).
Untunglah
bahwa film ini disusun dengan urut-urutan seperti ini. Dengan Cerita Jakarta, sebagai
penutup, penonton masih bisa merasa simpati terhadap perempuan di akhir film.
Maka jika Perempuan Punya
Cerita dilihat sebagai satu
film utuh, mungkin Lasja Fauzia has
saved the day. Tapi ketika film ini memang berniat sebagai film ‘dari
perempuan tentang perempuan’ maka sesungguhnya risiko yang sedang ditempuh fim
ini memang terlalu besar (Sasono: 2008).
E. Analisis
Feminisme dalam Film “Perempuan Punya Cerita”
Berdasarkan penjelasan di
atas, maka poin-poin di bawah ini
merupakan beberapa bentuk representasi feminisme yang ada pada film Perempuan
Punya Cerita.
1)
Budaya
patriarki. Sebagaimana sebagian besar
masyarakat Indonesia anut dalam berkehidupan sehari-hari. Dalam film ini juga
begitu kental akan unsur budaya patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai
poros peredaran kehidupan. Sumantri yang jadi politisasi pemerkosa Wulan,
sehingga ia dibenci warga pulau di Cerita
Pulau. Dan Safina yang sekedar menjadi “pelayan” bagi laki-laki di Cerita Yogyakarta.
2)
Feminisme
liberal dan sosial. Film ini dapat kita
kategorikan sebagai film beraliran feminisme liberal sebab representasinya akan
ketertindasan perempuan yang wajib diperjuangkan. Dan juga beraliran feminisme
sosial sebab representasinya akan kemiskinan yang menjadi beban perempuan sebab
kapitalisme.
3)
Perempuan
mahluk yang lemah. Dalam film salah
satunya pada segmen satu, perempuan digambarkan menjadi mahluk yang tidak
banyak berdaya akan otoritas laki-laki. Sumantri yang mengabdi di pulau
terpencil dan berjuang dengan gigih untuk keadilan Wulan, justru diceritakan
menjadi korban politisasi para lelaki pemerkosa Wulan. Ia tak berdaya akan
pemutarbalikan fakta yang menyebabkan ia dianggap mengaborsi janin dengan
niatan buruk, padahal sesungguhnya ia berkeinginan untuk menyelamatkan nyawa
sang ibu.
4)
Perempuan
bukan mahluk rasional.
Beberapa orang beranggapan bahwa perempuan memiliki akal yang pendek yang
justru hanya mementingkan masalah hati dan perasaannya ketimbang berpikir
rasional dalam menimbang berbagai hal. Bahkan, perempuan adalah mahluk yang
mudah sekali dimonopoli atau ditipu sebab tadi bahwa mereka tak berpikir
rasional. Hal ini tergambar dalam segmen dua dari film.
5)
Perempuan
rawan human trafficking. Pada
segmen ketiga, menggabungkan dua poin di atas, selain lemah, karakter perempuan
yang mudah ditipu akhirnya menyebabkan perempuan rawan betul menjadi objek human trafficking.
6)
Wajah
kemiskinan wajah perempuan. Berbicara masalah
kemiskinan, banyak anggapan yang mengasosiasikan perempuan ke dalamnya. Dan
sejalan dengan anggapan tersebut pada gilirannya berimplikasi pada berbagai
ketertindasan yang dialami perempuan.
7)
Diskriminasi
sosial. Sebagaimana terjadi pada Esi dalam film,
perempuan dirasa menjadi manusia yang jauh dari akses pendidikan dan pemahaman
serta kesadaran akan hak yang asasi bagi dirinya. Dan seringkali perempuan
sekedar menjadi kambing hitam dalam masyarakat, seperti Laksmi yang menjadi
kambing hitam bagi suaminya lantas tertular
HIV/AIDS yang tidak lain dan tidak bukan justru ditularkan suaminya
sendiri akibat pergaulan bebas suaminya.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Bentukan
budaya yang hidup dalam negeri ini kebanyakan adalah budaya yang mengekor pada
kepemimpinan laki-laki. Sedikit dari budaya kita yang mengambil garis
matrilineal sebagai acuan berbudaya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara,
jika kita berbicara mengenai sinema dan perempuan, maka kami mendapati bahwa
perempuan dalam sinema tak jauh bedanya dengan keadaan budaya masyarakat yang
ada. Perempuan dalam sinema senantiasa dibenturkan dengan budaya yang
dikonstruksi sendiri oleh masayarakat, atau bukan bersifat alamiah. Secara
nurtur tersebut, berbagai sinema menempatkan perempuan minimal sebagai bagian
subordinat kaum lelaki. Dengan kata lain, perempuan dalam sinema senantiasa
dibenturkan pada budaya patriarki.
Budaya
patriarki dalam sinema terhadap perempuan biasanya berbentuk seperti: kekuasaan
yang lebih besar porsinya bagi kaum lelaki kepada perempuan, poligami,
subordinasi, kekerasan, keterbungkaman, tak boleh menempuh pendidikan yang
setara dengan kaum lelaki, dan sebagainya.
Namun
demikian, tidak semua pesan yang digambarkan dalam film merupakan realita yang
paripurna bagi perempuan. Ada nilai-nilai dan gambaran lain yang tentunya tak
butuh diemansipasi sebab ia telah menjadi bentukan alam atau natural bukan
nurtur. Sayangnya, kaum feminis seringkali lekang dari norma dan nilai serta
aturan yang ada dalam memerhatikan kaum perempuan. Tidaklah segala hal dalam
dunia ini patut untuk direkonstruksi apalagi jika ia adalah bentukan alami dari
Tuhan dan diatur oleh Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Tuchman,
Gaye, Daniels, Arlene Kaplan, dan Benet, James. 1978. Images of Women in the Mass Media. New York: Oxford University
Press.
Penelitian:
Dianingtyas, Edwina Ayu. 2010. Representasi Perempuan Jawa dalam Film R.A.
Kartini. Semarang: Universitas Diponegoro (Skirpsi).
Muthmainnah, Andi. 2012. Konstruksi Realitas
Kaum Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Makassar: Universitas
Hasanuddin (Skripsi).
Rianto, Arga Fajar. 2010. Representasi Feminisme dalam Film Ku
Tunggu Jandamu Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur (Skripsi).
Sitepu,
Yovita Sabarina. 2010. Eksplorasi Sintaksis Baru Tentang Tubuh Perempuandalam Film Perempuan Punya Cerita-Chants Of
Lotus (2007) (Sebuah
Pendekatan Psikoanalisis Feminis). Medan: Universias Sumatra Utara (Tesis).
Utami, Tri. 2012. Gambaran
Perempuan dalam Film Berbagi Suami. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga (Skripsi).
Jurnal:
Lubis, Syakwan. 2006. Gerakan Feminisme dalam Era Postmodernisme
Abad 21. DEMOKRASI Vol. V No. 1 Th. 2006
Internet:
Husna, Fuaziatul. Tanpa tahun. Analisis
Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia dalam Kacamata Teori Habitus Pierre Bourdieu. http://www.academia.edu/3616511/Analisis_Sejarah_Perkembangan_Feminisme_di_Indonesia_dalam_Kacamata_Teori_Habitus_Pierre_Bourdieu. Diakses pada 19 September 2013.
Sasono, Eric.
2008. Perempuan Punya Cerita: Para
Perempuan Malang. http://old.rumahfilm.org/resensi/resensi_perempuan.htm. Diakses pada 19
September 2013.
Soeharto, Edi.
Tanpa tahun. Teori Feminis dan Pekerjaan
Sosial. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/YogyaFEMINISMESocialWork.pdf. Diakses pada 19
September 2013.
Tanpa nama. 2008. Perempuan Punya Cerita. http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-c013-07-986177_perempuan-punya-cerita#.UjppxSwYrMs. Diakses pada 19 September 2013.
Tanpa nama. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p024-09-123305_perempuan-berkalung-sorban#.Ujpq_ywYrMs. Diakses pada 19 September 2013.
0 komentar:
Posting Komentar