SPEKTANEWS (Jakarta) Tidak jauh dari PGC (Pusat Grosir Cililitan) terdapat sebuah jalan yang terbentang mulai dari perbatasan jalan Dewi Sartika hingga perbatasan jalan TB Simatupang. Panjang ruas jalan itu bisa mencapai antara 3-4 km. Sejak dulu orang-orang mengenalnya dengan jalan Kampung Kramat. Tapi sejak 20 tahun terakhir orang lebih mengenalnya dengan nama jalan raya Condet.
Seperti kebanyakan jalan pada umumnya fisik jalan raya Condet pun tidak berbeda dengan jalan-jalan di Jakarta. Beraspal hotmix, lengkap ada trotoarnya, dan pada jam-jam sibuk selalu dipadati oleh ratusan ribu kendaraan setiap harinya.
Jalan raya Condet sejak puluhan tahun lalu hingga kini masih tetap menjadi buah bibir warga. Buah bibir yang lebih tepat disebut sebagai cerita perjalanan panjang sebuah jalan raya yang tak lekang dimakan masa. Banyak warga tahu betul mengenai cerita ini. Bukan warga baru yang dimaksud
disini, tapi warga yang rata-rata telah menetap disana lebih dari 20 tahun. Apa sebenarnya yang digunjingkan warga soal jalan tersebut? Apa karena kemacetannya yang tidak mengenal kata libur, atau karena genangan airnya setiap kali hujan lebat? Kelihatannya bukan soal itu. Karena hampir semua tempat di Jakarta mengalami nasib sama. Genangan air, banjir, macet, polusi, atau bising menjadi nasib abadi kota metropolitan. Menjadi warga Jakarta dengan menanggung segudang polemik. Itu adalah sebuah konsekwensi. Usut punya usut, kasak-kusuk warga bermula dari rencana pelebaran jalan yang telah dicanangkan Pemprov DKI Jakarta tak kunjung direalisasikan. Yang menarik, Pemprov DKI berencana melebarkan jalan Condet bukan baru kemarin, tapi sudah sejak 40 tahun lalu. Tapi sampai detik ini jalan raya condet tetap terbentang seperti dulu tanpa bergeser sesentipun.
Warga tidak ambil pusing dengan hal itu, karena tidak semua warga setempat setuju perealisasian rencana tersebut. Beda lagi dengan para pengendara yang setia melintasi jalan raya Condet. Mereka menyaksikan bagaimana power Pemprov DKI Jakarta tidak dapat menyentuh kawasan ini. Tapi para pengguna jalan ini yang notabene tidak tahu menahu asal-usul jalan ini tetap saja menuduh pemerintah tidak becus menangani struktural-infrastruktural kawasan Condet. Sebuah tuduhan yang berangkat dari rasa jenuh pada rutinitas kemacetan jalan raya Condet yang dialaminya bertahun-tahun.
Jalan raya Condet sebenarnya dijadikan sebagai jalan alternatif Cililitan-Cijantung-Pasar Rebo. Ukuran standar jalan raya Condet kurang lebih 6 meter, namun diujung jalan yang berbatasan dengan jalan dewi sartika, tak jauh dari masjid Al-Hawi jalan tersebut menyempit 2 meter, yang berarti ruas jalan hanya 4 meter sementara panjangnya kurang lebih 12 meter. Kondisi diperparah dengan berdirinya sebuah tiang listrik yang masuk 15 cm ke badan jalan. Bersebelahan dengan kondisi jalan yang menyempit terletak sebuah pemakaman berusia ratusan tahun yang saat ini bangunannya telah dimodernkan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai makam Keramat Djati. Dan hampir semua pihak sepakat, bahwa pemakaman sebagai satu-satunya alasan kegagalan semua upaya pelebaran jalan yang dilakukan DPU Pemprov DKI Jakarta selama puluhan tahun.
Jalan Raya Condet Lebar + 4 meter
Upaya yang dilakukan Pemprov tidak main-main. Ali Sadikin yang terkenal keras dan disiplin, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta diketahui selalu bingung saat urusan lagi-lagi terbentur soal jalan condet. Ali dengan latar belakangnya yang seorang ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia : sekarang TNI) berkali-kali unjuk kekuatan. Saat Ali kebingungan, ia terjunkan tenaga asing untuk menggeser jasad-jasad di dalam pemakaman itu sesegera mungkin. Ali tidak suka program kerjanya terhalang oleh apapun. Dengan segala kekuatan Ali akan menyingkirkan halangan tersebut.
Dua kali Ali terjunkan tenaga asing dengan peralatan canggihnya saat itu, dua kali juga Ali mendapati kabar proyeknya menemui kegagalan. Padahal sebelum menerjunkan tenaga asing Ali juga sudah berkali-kali gagal. Alasan kegagalannya sepakat, yaitu berpangkal dari pemakaman Keramat Djati, namun kronologis kegagalannya yang tidak diungkap secara resmi. Tidak percaya dengan fenomena misteri, tapi terlalu banyak orang yang terlanjur menjadi saksi, bagaimana peralatan teodolit itu tak berfungsi tiap kali staf DPU mengukur lokasi. Dari sekian kali upaya pelebaran jalan, 80% kegagalannya diketahui warga karena saat difungsikan teodolit itu tidak melihat pemakaman, tapi malah melihat lautan tak bertepi. Cerita demi cerita mengenai pemakaman dan jalan raya condet terus bergulir dan tetap menjadi misteri. Kevalidan sebuah cerita non logis memang tidak mudah dibuktikan. Satu-satunya bukti terkuat adalah jalan raya condet yang masih tetap terbentang hingga saat ini tanpa mengalami perubahan dan pelebaran. Kemudian dengan berbesar hati pemerintah menyatakan ketidaksanggupannya mengurus jalan tersebut bersamaan dengan lengsernya Gubernur Ali Sadikin tahun 1977, setelah itu jalan raya Condet tak jelas lagi kabar beritanya. Hingga pada akhirnya, Dinas Perhubungan mengizinkan pengoperasian angkutan Metro Mini T 53 di jalan raya condet, dengan kondisi jalan yang tidak memenuhi standar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
apaan ini
Posting Komentar